Mengalami Turbolensi
Setiap orang pasti mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan / diharapkan untuk terjadi. Ada yang hanya sekedar ‘lewat’ saja alias tidak meninggalkan trauma tapi ada pula yang meninggalkan ‘bekas’ di dalam pikiran atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘Trauma’.
Berbicara tentang trauma aku mau berbagi tentang trauma naik pesawat. Beberapa waktu yang lalu tepatnya di bulan Januari 2016 aku melakukan perjalanan menggunakan burung besi alias pesawat terbang.
Awalnya, semua baik-baik saja. Cuaca saat aku berangkatpun cukup cerah. Aku cukup menikmati penerbangan ini. Selama perjalanan udara ini aku habiskan waktu dengan membaca buku. Perjalanan yang cukup menyenangkan hingga….
Ada pengumuman dari awak kabin bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat dan seperti biasa seluruh penumpang diharapkan kembali ketempat duduk dan menggunakan safety belt.
Aku pun menutup kembali buku yang sedang dibaca dan memasukkannya kedalam tas serta memastikan bahwa safety belt yang aku gunakan telah terpasang dengan sempurna. Sampai disini semua masih baik-baik saja.
Namun, tidak lama setelah awak kabin mengumumkan pengumuman tersebut (kira2 5 menit)kemudian pesawat mulai bergoyang (sampai disini aku masih tenang karena aku juga pernah mengalami hal serupa ). Tapi guncangan yang ada kian lama kiat tak tentu. Kepalaku sampai membentur kursi yang ada didepanku. Ketika melihat ke jendela pesawat tidak ada yang terlihat selain putih mendung (biasanya terlihat bentuk awan ataupun warna langit yanh biru). Suasana didalam pesawat pun menjadi begitu ‘menegangkan’. Teriakan menyebut nama Tuhan dan tangisan seolah pecah bersatu padu di dalam pesawat tersebut. Dan aku, yang biasanya ga pernah nangis dan takut saat cuaca buruk (sebelumnya pernah beberapa kali mengalami cuaca buruk, mulai dari berputar-putar diudara padahal udah diatas bandara hingga ala2 rollers coaster yang saat udah mau mendarat udah keliatan tuh kotanya harus naik dengan tajam tapi belum ada yang sampai membuatku meneteskan air mata ) tak terasa mulai meneteskan air mata apalagi saat ‘alat bantu pernapasan’ (aku lupa istilah dalam penerbangannya) turun dan awak kabin menginstruksikan untuk kami segera memasangnya. Suasana semakin mencekam. Saat itu yang terlintas dalam benakku adalah apakah ini hari terakhirku? Ada ibu-ibu menangis memeluk anaknya dengan erat, ada yang nangis terus, ada yang terus membaca ayat. Pokoknya udah bener-bener situasi yang sangat sangat tidak aku harapkan. Pramugari yang semula mencoba menenangkan kami tapi terlihat sebenarnya mereka juga mulai merasa takut (terlihag dari raut wajah mereka ).
Hingga akhirnya aku merasakan ada suara hentakan ke darat. And, praise God kita ternyata berhasil landing setelah melewati cuaca yang tiba-tiba berubah saat akan landing. Walaupun pesawat yang aku tumpangi tersebut tidak mendarat ‘sempurna’ karena keluar landasan. Tapi, puji Tuhan ternyata Tuhan masih memberikan kami kesempatan untuk hidup.
Oh ya, ada hal lain yang cukup menarik perhatianku saat kami telah mendarat Saat akan melangkahkan kaki keluar pesawat telah berdiri pilot dan co-pilot pesawat tersebut. Dengan senyuman mereka mengucapkan terimakasih kepada setiap penumpang yang berlalu ke pintu keluar. Tidak ada raut wajah ‘Tegang’ ataupun takut. Sampai aku berpikir, apa ya perasaan pilot itu saat melewati situasi tadi? Apakah dia setenang ini atau sebenarnya takut? Entahlah… Tapi di titik ini pun aku belajar. Kalau pilot itu bisa tetap tersenyum menyambut kami para penumpanh yang telah ketakutan (and I don't know perasaan pilot & co-pilot itu sebenarnya) apalagi Tuhan.
Berbicara tentang trauma aku mau berbagi tentang trauma naik pesawat. Beberapa waktu yang lalu tepatnya di bulan Januari 2016 aku melakukan perjalanan menggunakan burung besi alias pesawat terbang.
Awalnya, semua baik-baik saja. Cuaca saat aku berangkatpun cukup cerah. Aku cukup menikmati penerbangan ini. Selama perjalanan udara ini aku habiskan waktu dengan membaca buku. Perjalanan yang cukup menyenangkan hingga….
Ada pengumuman dari awak kabin bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat dan seperti biasa seluruh penumpang diharapkan kembali ketempat duduk dan menggunakan safety belt.
Aku pun menutup kembali buku yang sedang dibaca dan memasukkannya kedalam tas serta memastikan bahwa safety belt yang aku gunakan telah terpasang dengan sempurna. Sampai disini semua masih baik-baik saja.
Namun, tidak lama setelah awak kabin mengumumkan pengumuman tersebut (kira2 5 menit)kemudian pesawat mulai bergoyang (sampai disini aku masih tenang karena aku juga pernah mengalami hal serupa ). Tapi guncangan yang ada kian lama kiat tak tentu. Kepalaku sampai membentur kursi yang ada didepanku. Ketika melihat ke jendela pesawat tidak ada yang terlihat selain putih mendung (biasanya terlihat bentuk awan ataupun warna langit yanh biru). Suasana didalam pesawat pun menjadi begitu ‘menegangkan’. Teriakan menyebut nama Tuhan dan tangisan seolah pecah bersatu padu di dalam pesawat tersebut. Dan aku, yang biasanya ga pernah nangis dan takut saat cuaca buruk (sebelumnya pernah beberapa kali mengalami cuaca buruk, mulai dari berputar-putar diudara padahal udah diatas bandara hingga ala2 rollers coaster yang saat udah mau mendarat udah keliatan tuh kotanya harus naik dengan tajam tapi belum ada yang sampai membuatku meneteskan air mata ) tak terasa mulai meneteskan air mata apalagi saat ‘alat bantu pernapasan’ (aku lupa istilah dalam penerbangannya) turun dan awak kabin menginstruksikan untuk kami segera memasangnya. Suasana semakin mencekam. Saat itu yang terlintas dalam benakku adalah apakah ini hari terakhirku? Ada ibu-ibu menangis memeluk anaknya dengan erat, ada yang nangis terus, ada yang terus membaca ayat. Pokoknya udah bener-bener situasi yang sangat sangat tidak aku harapkan. Pramugari yang semula mencoba menenangkan kami tapi terlihat sebenarnya mereka juga mulai merasa takut (terlihag dari raut wajah mereka ).
Hingga akhirnya aku merasakan ada suara hentakan ke darat. And, praise God kita ternyata berhasil landing setelah melewati cuaca yang tiba-tiba berubah saat akan landing. Walaupun pesawat yang aku tumpangi tersebut tidak mendarat ‘sempurna’ karena keluar landasan. Tapi, puji Tuhan ternyata Tuhan masih memberikan kami kesempatan untuk hidup.
Oh ya, ada hal lain yang cukup menarik perhatianku saat kami telah mendarat Saat akan melangkahkan kaki keluar pesawat telah berdiri pilot dan co-pilot pesawat tersebut. Dengan senyuman mereka mengucapkan terimakasih kepada setiap penumpang yang berlalu ke pintu keluar. Tidak ada raut wajah ‘Tegang’ ataupun takut. Sampai aku berpikir, apa ya perasaan pilot itu saat melewati situasi tadi? Apakah dia setenang ini atau sebenarnya takut? Entahlah… Tapi di titik ini pun aku belajar. Kalau pilot itu bisa tetap tersenyum menyambut kami para penumpanh yang telah ketakutan (and I don't know perasaan pilot & co-pilot itu sebenarnya) apalagi Tuhan.
Komentar
Posting Komentar